Setiap data adalah narasi, dan setiap narasi lahir dari sudut pandang tertentu. Ketika Bank Dunia merilis data terbaru tentang kemiskinan global maupun nasional, angka-angka itu sering kali menjadi acuan kebijakan publik, perdebatan politik, hingga tajuk utama media. Namun, tidak semua orang memahami bahwa di balik data yang tampak objektif, terdapat pendekatan metodologis yang bisa dipertanyakan—dan di situlah tafsir mimpi44 menjadi penting. Standar pengukuran kemiskinan Bank Dunia, seperti ambang batas pengeluaran harian $2,15 per orang, tak jarang memunculkan pertanyaan: apakah angka itu benar-benar mencerminkan realitas kehidupan?

Perbedaan ukuran kemiskinan, baik dalam definisi maupun metode, menghasilkan pemahaman yang berbeda pula tentang siapa yang dianggap miskin. Misalnya, ketika seseorang hidup dengan Rp10.000 per hari, ia mungkin lolos dari garis kemiskinan versi Bank Dunia, tetapi apakah itu berarti kehidupannya layak? Di sinilah tafsir terhadap data menjadi relevan. Statistik mungkin menyederhanakan kompleksitas hidup manusia, namun kehidupan tidak bisa direduksi menjadi angka semata. Kebutuhan dasar, martabat, akses terhadap layanan publik, dan kualitas lingkungan adalah dimensi yang tak selalu tertangkap oleh ukuran moneter.

Membaca ulang data kemiskinan versi Bank Dunia bukan berarti menolaknya, melainkan mengkritisinya secara konstruktif. Penting bagi publik, akademisi, dan pembuat kebijakan untuk memahami bahwa angka-angka tersebut bersifat instrumen, bukan kebenaran mutlak. Negara-negara dengan konteks sosial dan budaya berbeda tentu membutuhkan pendekatan yang lebih kontekstual dalam memahami kemiskinan. Tafsir lokal, misalnya dengan mempertimbangkan beban biaya pendidikan, kesehatan, atau ketimpangan sosial, dapat melengkapi narasi yang dibangun oleh standar internasional.

Akhirnya, memahami kemiskinan bukan sekadar urusan data dan indikator ekonomi. Ia adalah soal kepekaan terhadap kenyataan hidup masyarakat. Tafsir atas data membuka ruang dialog antara angka dan pengalaman, antara kebijakan dan kemanusiaan. Sebab jika beda ukur melahirkan beda tafsir, maka tugas kita bukan hanya mengutip statistik, tapi memastikan bahwa setiap tafsir membawa kita lebih dekat pada keadilan sosial yang sejati.